Monday 2 March 2015

ERUPSI GUNUNG MERAPI




Merapi adalah gunung termuda dalam rangkaian gunung berapi yang terbentuk karena aktivitas di zona subduksi Lempeng Indo-Australia dengan Lempeng Eurasia.  Merapi terletak di bagian tengah Pulau Jawa dan merupakan salah satu gunung api teraktif di Indonesia.                                                              

Tipe erupsi Gunung Merapi dapat dikategorikan sebagai tipe Vulkanian lemah. Tipe lain seperti Plinian merupakan tipe vulkanian dengan daya letusan yang sangat kuat.                   
Merapi termasuk gunungapi yang sering meletus. Sampai Juni 2006, erupsi yang tercatat sudah mencapai 83 kali kejadian. Secara rata-rata selang waktu erupsi Merapi terjadi antara 2 – 5 tahun (periode pendek), sedangkan selang waktu periode menengah setiap 5 – 7 tahun. Merapi pernah mengalami masa istirahat terpanjang selama >30 tahun, terutama pada masa awal keberadaannya sebagai gunungapi.            Ancaman bahaya utama Merapi adalah awan panas dan banjir lahar. Ancaman dapat ke berbagai arah ditentukan oleh struktur bukaan, alterasi hidrotermal, resistensi batuan bawah permukaan dan arah bukaan morfologi terendah di kaki kubah lava baru.                                                                         
Mitigasi bencana gunungapi adalah segala usaha dan tindakan untuk mengurangi dampak bencana yang disebabkan oleh erupsi gunungapi. Pada fase Pra-kejadian peranan yang dapat dilakukan meliputi langkah-langkah penilaian risiko bencana, pemetaan daerah kawasan rawan bencana, pembuatan peta risiko dan membuat simulasi skenario bencana serta pembuatan sabo dam. Adapun pada saat fase kritis maka sudah harus dilakukan tindakan operasional berupa pemberian peringatan dini, meningkatkan komunikasi dan prosedur pemberian informasi dll













Monday 20 January 2014

GEOLOGI BATUBARA #1

GENESA BATUBARA


     Batubara adalah sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan yang terhumifikasi, berwarna coklat sampai hitam yang selanjutnya terkena proses fisika dan kimia yang berlangsung selama jutaan tahun hingga mengakibatkan pengkayaan kandungan C (Wolf, 1984 dalam Anggayana 2002).

    Pembentukan tanaman menjadi gambut dan batubara melalui dua tahap, yaitu tahap diagenesa gambut (peatilification) dan tahap pembatubaraan (coalification). Tahap diagenesa gambut disebut juga dengan tahap biokimia dengan melibatkan perubahan kimia dan mikroba, sedangkan tahap pembatubaraan disebut juga dengan tahap geokimia atau tahap fisika-kimia yang melibatkan perubahan kimia dan fisika serta batubara dari lignit sampai antracit (Cook, 1982).

PENGGAMBUTAN (PEATIFICATION)
     Gambut merupakan batuan sedimen organik (tidak padat) yang dapat terbakar dan berasal dari sisa – sisa hancuran atau bagian tumbuhan yang tumbang dan mati di permukaan tanah, pada umumnya akan mengalami proses pembusukan dan penghancuran yang sempurna sehingga setelah beberapa waktu kemudian tidak terlihat lagi bentuk asalnya. Pembusukan dan penghancuran tersebut pada dasarnya merupakan proses oksidasi yang disebabkan oleh adanya oksigen dan aktivitas bakteri atau jasad renik lainya. Jika tumbuhan tumbang disuatu rawa, yang dicirikan dengan kandungan oksigen yang sangat rendah sehingga tidak memungkinkan bakteri anaerob (bakteri memerlukan oksigen) hidup, maka sisa tumbuhan tersebut tidak mengalami proses pembusukan dan penghancuran yang sempurna sehingga tidak akan terjadi proses oksidasi yang sempurna. Pada kondisi tersebut hanya bakteri-bakteri anaerob saja yang berfungsi melakukan proses dekomposisi yang kemudian membentuk gambut (peat). Daerah yang ideal untuk pembentukan gambut misalnya rawa, delta sungai, danau dangkal atau daerah yang kondisi tertutup udara. Gambut bersifat porous, tidak padat dan umumnya masih memperlihatkan struktur tumbuhan asli, kandungan airnya lebih besar dari 75% (berat) dan komposisi mineralnya kurang dari 50 % (dalam keadaan kering).
Menurut Bend (1992) dalam Diessel (1992) untuk dapat terbentuknya gambut, beberapa faktor yang mempengaruhi yaitu :
1)      Evolusi tumbuhan
2)      Iklim
3)      Geografi dan tektonik daerah
Syarat untuk terbentuknya formasi batubara antara lain adalah ketika kenaikan mukan air tanah lambat, perlindungan rawa terhadap pantai atau sungai dan energi relatif rendah. Jika muka air tanah terlalu cepat naik (atau penurunan dasar rawa cepat) maka kondisi akan menjadi limnic atau bahkan akan terjadi endapan marine. Sebaliknya kalau terlalu lambat, maka sisa tumbuhan yang terendapkan akan teroksidasi dan terisolasi. Terjadinya kesetimbangan antara penurunan cekungan (land subsidence) dan kecepatan penumpukan sisa tumbuhan (kesetimbangan bioteknik) yang stabil akan menghasilkan gambut yang tebal (Diessel, 1992).
Lingkungan tempat terbentuknya rawa gambut umumnya merupakan tempat yang mengalami depresi lambat dengan sedikit sekali atau bahkan tidak ada penambahan material dari luar. Pada kondisi tersebut muka air tanah akan terus mengikuti perkembangan akumulasi gambut dan mempertahankan tingkat kejenuhannya. Kejenuhan tersebut dapat mencapai 90 % dan kandungan air menurun drastis hingga 60 % pada saat terbentuknya brown-coal. Sebagian besar lingkungan yang memenuhi kondisi tersebut merupakan topogenic low moor. Hanya pada beberapa tempat yang mempunyai curah hujan sangat tinggi dapat terbentuk rawa ombrogenic (high moor).

PEMBATUBARAAN (COALIFICATION)
Proses pembatubaraan adalah perkembangan gambut menjadi lignit, sub-bituminuous, bitominous, antracite hingga meta-antracite. Proses pembentukan gambut dapat berhenti karena beberapa proses alam seperti misalnya karena penurunan dasar cekungan dalam waktu yang singkat. Jika lapisan gambut yang telah terbentuk kemudian ditutupi oleh lapisan sedimen, maka tidak ada lagi bahan anaerob, atau oksigen yang dapat mengoksidasi, maka lapisan gambut akan mengalami tekanan dari lapisan sedimen. Tekanan terhadap lapisan gambut akan meningkat dengan bertambahnya tebal lapisan sedimen. Tekanan yang bertambah besar pada proses coalification akan mengakibatkan menurunya porositas dan meningkatnya anisotropi. Porositas dapat dilihat dari kandungan airnya yang menurun secara cepat selama proses perubahan gambut menjadi brown coal. Hal ini memberikan indikasi bahwa masih terjadi proses kompaksi.

Proses coalification terutama dikontrol oleh kenaikan temperatur, tekanan dan waktu. Pengaruh temperatur dan tekanan dipercaya sebagai faktor yang sangat dominan, karena sering ditemukan lapisan batubara high rank (antracite) yang berdekatan dengan daerah intrusi batuan beku sehingga terjadi kontak metamorfisme. Kenaikan peringkat batubara juga dapat disebabkan karena bertambahnya kedalaman. Sementara bila tekanan makin tinggi, maka proses coalification semakin cepat, terutama didaerah lipatan dan patahan.





Sumber :
http://ibrahimlubis.wordpress.com/category/geology/
Anggayana, K., 2002 : Genesa Batubara, Departemen Teknik Pertambangan, FIKTM, Institut Teknologi Bandung.
Cook, C. Alan., 1999, Coal Geology and Coal Properties. Keira Ville Konsultants. Australia.







                                                                           






Wednesday 23 October 2013

PROSES PEMFOSILAN

PROSES PEMFOSILAN
 FOSIL TAK TERMINERALISASI

Fosil adalah sisa bahan organik yang terawetkan secara alamiah dan berumur lebih tua dari Holosen (10.000 tahun yang lalu). Proses pemfosilan adalah semua proses yang melibatkan penimbunan hewan atau tumbuhan dalam sedimen yang terakumulasi serta pengawetan seluruh atau sebagian maupun pada jejak-jejaknya.

Adapun syarat-syarat terjadinya pemfosilan, antara lain:
1.      Organisme segera terhindar dari proses perusakan dan bakteri pembusuk.
2.      Segera tertutup oleh material yang bersifat protektif.
3.      Memiliki bagian tubuh yang resisten (keras).

Fosil Tak Termineralisasi
  • Fosil yang tidak mengalami perubahan secara keseluruhan, fosil yang jarang terjadi dan merupakan keistimewaan dalam proses pemfosilan. Misalnya Mammoth yang terbekukan dalam endapan es tersier.




  • Fosil yang terubah sebagian, contohnya gigi-gigi binatang buas, tulang dan rangka Rhinoceros yang tersimpan di musium Rusia, serta cangkang moluska.


  • Distilasi (karbonisasi), menguapnya kandungan gas-gas atau zat lain yang mudah menguap dalam tumbuhan/hewan karena tertekannya rangka atau tubuh kehidupan tersebut dalam sedimentasi dan meninggalkan residu karbon (C) berupa lapisan-lapisan tipis dan kumpulan unsur C yang menyelubungi atau menyelimuti sisa-sisa organisme yang tertekan tadi. Contohnya adalah batubara.


  • Amber, hewan atau tumbuhan yang terperangkap dalam getah tumbuhan (damar) dan akhirnya terfosilkan. Contohnya insekta yang terselubungi getah damar dalam endapan Oligosen sebagi fosil Resen.






Sumber:





Friday 11 October 2013

BENTUKAN ASAL STRUKTURAL

BENTUKAN ASAL STRUKTURAL

A.    Pendahuluan
     Bentuk asal struktural adalah pengaruh struktur geologi terhadap perkembangan dan penampilan bentuklahan disebut sebagai bentanglahan yang dipengaruhi oleh struktur. Pengaruh struktur geologi yang sangat luas dapat mempengaruhi bentanglahan secara keseluruhan sampai tampilan terkecil bentuklahan yang berlangsung bersamaan dengan proses geomorfologi lainnya. Pengaruh struktur geologi pada geomorfologi dapat dibagi menjadi dua jenis struktur utama; yaitu :
a.       truktur aktif yang berlangsung sehingga meninggalkan jejak bentanglahan modern
b.      struktur pasif yang meninggalkan jejak pada bentanglahan modern berupa pelapukan dan erosi

          Pengaruh struktur geologi yang mempengaruhi aspek - aspek struktur geomorfologi, seperti perlipatan dan sesar dapat dikenali melalui foto udara dan peta topografi. Foto udara dan peta topografi dapat menampilkan lokasi dan bentuk massa batuan yang memiliki bermacam - macam tampilan, antara lain :
a.       ketahanan batuan terhadap pelapukan dan erosi,
b.      perubahan kristal dan pengikisan batuan akibat pelapukan dan erosi,
c.       penampilan lapisan
d.      tampilan bentuk lainnya.

      Batuan dan iklim memiliki peran penting pada tampilan geomorfologi, terutama pada daerah yang memiliki hubungan erat dengan kondisi geologi seperti jenis batuan dan struktur geologi yang tergambar pada peta topografi atau yang tampak pada foto udara. Pada dasarnya batuan memiliki perbedaan ketahanan terhadap pelapukan dan erosi, sehingga sangat mendorong terjadinya pengikisan pada lereng dengan ciri terbentuknya lereng yang terputus. Perkembangan lereng yang cembung menunjukkan batuan yang relatif tahan terhadap pelapukan dan erosi, sedangkan perkembangan lereng yang cekung cenderung kurang tahan terhadap pelapukan dan erosi. Sangat jelas bahwa ketebalan lapisan batuan sangat berpengaruh terhadap bentuk lereng (cembung atau cekung). Jika suatu suatu lapisan batuan tipis atau proses pelapukan atau proses erosi/akumulasi aktif, maka permukaan lereng relatif halus, sehingga batuan tampak seperti tidak berlapis, sehingga singkapan lapisan akan tampak pada tebing atau dasar aliran. Interpretasi batuan secara rinci akan lebih baik jika dilakukan dilapangan, tetapi kemampuan interpretasi foto udara dan peta topografi ditambah dengan pengetahuan geologi umum akan memberikan hasil lebih baik didalam menentukan batas - batas batuan, perlapisan, foliasi, kelurusan dan hubungannya dengan bentuklahan, seperti tampilan gawir sesar dan erosi. 

B.    Macam-macam Bentukasal Struktural :
a.      Gawir sesar
Thornbury (1969, halaman 253 - 256) menggunakan analisis umum untuk menentukan gawir sesar dan garis gawir sesar, dengan cara :
·         Melihat bidang kasar yang mengesankan bekas goresan dan di-terapkan hanya pada sesar - sesar yang berumur muda. Bidang yang memberikan kesan goresan belum tentu sebagai gawir sesar.
·         Bidang sesar dicirikan oleh :
a)           Breksi sesar, mintakat (zone) hancuran dan mintakat rekahan serta kekar
b) Tampilan permukaan sesar yang menunjukkangoresan - goresan pada bidang sesar ("slickenside"), tetapi goresan tersebut jarang ditemukan.
c)      Tampilan pergeseran lapisan batuan yang tegak, mendatar, atau miring.


      ·    Triangular facet dengan ciri bagian ujung atas yang meruncing. Bagian ujung yang meruncing dianggap sebagai bagian yang pa -ling dekat dengan sesar dan biasanya menutupi sesar yang tampak sekarang. Biasanya lereng permukaan (facet) yang meruncing kurang dari 300, sedangkan bidang sesar normal lebih lebih curam.Selanjutnya ujung yang meruncing dari permukaan segitiga (triangular facet) mengalami perombakan oleh pelapukan dan erosi, sehingga tidak menunjukkan ciri-ciri permukaan sesar.
·  Kelurusan gawir. Sesar memanjang seperti garis lurus; padahal kenyataannya melengkung, jika dibandingkan dengan gawir cuesta yang memiliki gawir yang lurus. Kelurusan mencerminkan gawir sesar atau garis gawir sesar.

b.      Punggungan Antiklinal                 

          Bentukan berupa punggungan antiklinal (anticlinal ridge), Merupakan punggungan atau pegunungan yang bertepatan dengan sinklinal. Pada umumnya deretan pegunungan itu sejalan dengan sumbu/strike dari antiklinal itu. Bentuk punggungannya membulat dan relief halus, dengan lerengnya berupa dip dari struktur.




c.      Lembah Antiklinal
   Bentukan berupa lembah antiklinal (anticlinal valley), merupakan lembah-lembah yang berkembang sepanjang sumbu antiklinal. Bentukan ini benar-benar menunjukkan pembalikan relief.

d.      Lembah Sinklinal
    Bentukan lembah sinklinal (synclinal valley), merupakan lembah yang berkembang sepanjang sumbu sinklinal.

e.   Punggungan Sinklinal

     Bentukan punggungan sinklinal (synclinal ridge), Merupakan punggungan yang berkembang sepanjang sumbu sinklin. Ini pun menunjukkan adanya pembalikan relief yang sempurna. Punggungannya biasanya lebar dengan lereng yang curam.

f.    Punggungan Homoklinal

            Bentukan berupa punggungan homoklinal (homoclinal ridge), Punggungan homoklinal merupakan punggungan yang terdapat disetiap antiklinal/sinklinal akibat pengirisan lembah pada saya dan sepanjang sayap itu., dengan sendirinya punggungan ini akan berupa cuesta atau hogback tergatung kepada besarnya kemiringan struktur. Bisanya bentukan ini dibatasi oleh adanya pergantian kekerasan lapisan batuan yang berselang seling antara lapisan batuan lunak dan lapisan yang keras. 

g.    Cuesta

Cuesta adalah bentuk punggungan atau bukit yang kemiringan lerengnya tidak sama sebagai akibat dari kedudukan lapisan-lapisan batuan pembentuknya yang landai. Cuesta mempunyai lereng belakang (back slope) yang landai dan lereng muka (inface) lebih curam. Apabila cuesta dengan kedudukan lapisan batuan itu cukup curam dan kedua lereng bukit mempunyai kemiringan yang hampir sama, maka dinamakan Hogback. Sedangkan bila kedudukan lapisan itu mendatar, bukit yang demikian dinamakan messa. Messa yang berukuran kecil disebut butte.

h.    Plato
 Dataran tinggi (disebut juga plateau atau plato) adalah dataran yang terletak pada ketinggian di atas 1500 mdpl. Dataran tinggi terbentuk sebagai hasil erosi dan sedimentasi. Beberapa dataran tinggi antara lain Dataran Tinggi Dekkan, Dataran Tinggi Gay, Dataran Tinggi Dieng, Dataran Tinggi Malang, dan Dataran Tinggi Alas. Dataran tinggi bisa juga terjadi oleh bekas kaldera luas yang tertimbun material dari lereng gunung sekitarnya. Dataran tinggi dari kategori terakhir ini antara lain adalah Dataran Tinggi Dieng di Jawa Tengah.


Sumber :


Thursday 10 October 2013

LINGKUNGAN PENGENDAPAN KARBONAT MENURUT M.E. TUCKER 1985

LINGKUNGAN PENGENDAPAN KARBONAT MENURUT M.E. TUCKER 1985

A.    Pendahuluan


            Batuan sedimen adalah batuan yang terbentuk dari akumulasi material hasil perombakan batuan yang sudah ada sebelumnya atau hasil aktivitas kimia maupun organisme, yang di endapkan lapis demi lapis pada permukaan bumi yang kemudian mengalami pembatuan ( Pettijohn, 1975 ).
            Batuan sedimen banyak sekali jenisnya dan tersebar sangat luas dengan ketebalan antara beberapa centimetersampai beberapa kilometer. Juga ukuran butirnya dari sangat halus sampai sangat kasar dan beberapa proses yang penting lagi yang termasuk kedalam batuan sedimen. Disbanding dengan batuan beku, batuan sedimen hanya merupakan tutupan kecil dari kerak bumi. Batuan sedimen hanya 5% dari seluruh batuan-batuan yang terdapat dikerak bumi. Dari jumlah 5% ini,batu lempung adalah 80%, batupasir 5% dan batu gamping kira-kira 80% ( Pettijohn, 1975 ).
        Batuan karbonat adalah batuan sedimen yang mengandung mineral karbonat lebih dari 50%. Sedangkan mineral karbonat adalah mineral mengandung CO3 dan satu atau lebih kation Ca, Mg, Fe, dan Mn. Pada umumnya, mineral karbonat adalah kalsit (CaCO3) dan dolomit (CaMg (Co3)2). Batuan karbonat umumnya terdiri atas batugamping (kalsit sebagai mineral utama) dan batudolomit (dolostone). Umur batuan ini sangat bervareasi mulai dari pra-Kambrium sampai Kuarter. Batuan karbonat pra-Kambrium dan Paleosen umumnya dikuasai oleh batudolomit. Di alam batuan karbonat menempati 1/5 – 1/4 dari seluruh catatan stratigrafi dunia. Sekitar 40 % dari minyak bumi dan gas dunia diambil dari batuan karbonat. Reservoar karbonat di Timur Tengah merupakan salah satu contoh reservoar karbonat dengan produksi migas yang besar. Sedimen karbonat, yang dijumpai di dunia, kebanyakan terbentuk pada lingkungan laut dangkal dan beberapa di antaranya terbentuk di daerah teresterestrial, tetapi laut dangkal tropis. Indonesia merupakan daerah yang mempunyai sedimen karbonat melimpah.

B.    Lingkungan Pengendapan Karbonat Menurut Tucker 1985

          Menurut Tucker tahun 1985 dijelaskan bahwa endapan karbonat pada  laut dangkal terbentuk pada 3 macam lokasi yaitu Platform, shelf, dan ramps.
  • Fasies karbonat ramp          

          Fasies karbonat ramp merupakan suatu tubuh karbonat yang sangat besar yang dibangun pada daerah yang positif hingga ke daerah paleoslope, mempunyai kemiringan yang tidak signifikan, serta penyebaran yang luas dan sama. Pada fasies ini energi transportasi yang besar dan dibatasi dengan pantai atau inter tidal


  • Fasies karbonat platform

Fasies karbonat platform merupakan suatu tubuh fasies karbonat yang sangat besar dmana pada bagian atas lebih kurang horisontal dan berbatasan langsung dengan shelf margin. Sedimen sedimen terbentuk dengan energi yang tinggi.



  • Batas platform

Transisi dari shelf ke slope berpengaruh pada perubahan yang cepat dari pola fasies karbonat. Pola pertama yang dicari oleh kebanyakan interpreter adalah bentuk mound yang merepresentasikan reef. Beberapa contoh dengan seismik yang bagus adalah karbonat Cretaceous di timur laut Amerika Serikat dan Teluk Meksiko, karbonat Jurassic di Maroko, karbonat Miosen di Papua Nugini dan karbonat Permian di Texas Barat. Beberapa buildup dapat mencapai ketinggian melebihi 1000 meter. Salah satu signature kunci adalah adanya refleksi shingled kecil yang miring ke arah lingkungan paparan (shelf). Ini adalah hasil dari transpor endapan karbonat oleh badai dan arus dari puncak reef menuju bagian dalam platform. Signature internal dari buildup biasanya adalah hilangnya amplitudo dan kemenerusan walaupun ini tidak selalu benar. Karena kemiringan utama dari slope karbonat dapat melebihi 300 maka transisi dari buildup ke slope bagian atas dapat terjadi secara mendadak.

  • Fasies Shelves

            Fasies Shelves (shelf) lokasi pengendapan karbonat relatif sempit ratusan meter sampai beberapa km saja). Endapan karbonat pada daerah ini dicirikan dengan adanya break slope pada daerah tepi paparan, terdapatnya terumbu dan sand body karbonat. Kompleks terumbu pada fasies ini terbagi menjadi : Fasies terumbu muka (Force reef), inti terumbu (reef core) dan terumbu belakang (back reef).


  • Model Terumbu Karbonat 




Sumber :

METAMORFISME LOKAL DAN REGIONAL

METAMORFISME LOKAL DAN REGIONAL

A.    Pendahuluan
            Batuan metamorf adalah batuan yang berasal dari batuan induk yang lain, dapat berupa batuan beku, batuan sedimen, maupun batuan metamorf sendiri yang telah mengalami proses/perubahan mineralogi, tekstur maupun struktur sebagai akibat pengaruh temperatur dan tekanan yang tinggi.
            Proses metamorfosa terjadi dalam fasa padat, tanpa mengalami fasa cair, dengan temperatur 200oC-6500C. Menurut Grovi (1931) perubahan dalam batuan metamorf adalah hasil rekristalisasi dan dari rekristalisasi tersebut akan terbentuk kristal-kristal baru, begitupula pada teksturnya.Menurut H. G. F. Winkler (1967), metamorfisme adealah proses yang mengubah mineral suatu batuan pada fase padat karena pengaruh terhadap kondisi fisika dan kimia dalam kerak bumi, dimana kondisi tersebut berbeda dengan sebelumnya. Proses tersebut tidak termasuk pelapukan dan diagenesa.
            
Facies Metamorfisme
            Facies merupakan suatu pengelompokkan mineral-mineral metamorfik berdasarkan tekanan dan temperatur dalam pembentukannya pada batuan metamorf. Setiap facies pada batuan metamorf pada umumnya dinamakan berdasarkan jenis batuan (kumpulan mineral), kesamaan sifat-sifat fisik atau kimia.


              
                 Dalam hubungannya, tekstur dan struktur batuan metamorf sangat dipengaruhi oleh tekanan dan temperatur dalam proses metamorfisme. Dan dalam facies metamorfisme, tekanan dan temperatur merupakan faktor dominan, dimana semakin tinggi derajat metamorfisme (facies berkembang), struktur akan semakin berfoliasi dan mineral-mineral metamorfik akan semakin tampak kasar dan besar.

B.    Metamorfisme Lokal dan Regional

a.      Metamorfisme Lokal
            Jenis ini penyebaran metamorfosanya sangat terbatas hanya beberapa kilometer saja. Termasuk dalam tipe metamorfosa ini adalah:
·         Metamorfisme Kontak/Thermal

Terjadi pada batuan yang terpanasi oleh intrusi magma yang besar. Pancaran panas tersebut akan semakin menurun bila semakin jauh dari tubuh intrusinya. Hal ini berakibat adanya perbedaan pengaruh suhu pada batuan sampingnya antara bagian yang dekat dengan tubuh intrusi dan yang lebih jauh. Tentunya demikian juga dengan hasil perubahan mineraloginya. Zona aureole yang melingkari tubuh intrusi merupakan gambaran ada perubahan tersebut.


·         Metamorfisme Kataklastik

Yaitu metamorfosa yang diakibatkan oleh kenaikan tekanan. Tekanan yang berpengaruh disini ada dua macam, yaitu: hidrostatis, yang mencakup ke segala arah; dan stress, yang mencakup satu arah saja. Makin dalam ke arah kerak bumi pengaruh tekanan hidrostatika semakin besar. Sedangkan tekanan pada bagian kulit bumi yang dekat dengan permukaan saja, metamorfosa semacam ini biasanya didapatkan di daerah sesar/patahan.


b.  Metamorfisme Regional
                Tipe metamorfosa ini penyebarannya sangat luas, dapat mencapai beberapa ribu kilometer. Termasuk dalam tipe ini adalah:

·         Metamorfisme Regional Dinamotermal

     Sering dikaitkan dengan jalur orogenesa. Kenyataan menunjukkan bahwa pada jalur tersebut dijumpai penyebaran batuan metamorf yang luas yang disebabkan oleh beberapa kali proses orogenesa. Artinya bahwa beberapa diantaranya telah terbentuk oleh satu kali atau lebih metamorfisme se.belumnya. Berbeda dengan metamorfisme kontak, metamorfisme regional dinamotermal berlangsung berkaitan dengan gerak-gerak penekanan ("penetrative movement"). Hal ini dibuktikan dengan struktur sekistositas. Jika metamorfisme termal terjadi pada tekanan rendah antara 100 sampai 1000 bar atau mencapai 3000 bar ( terjadi pada kedalaman 11 - 12 -km ), maka metamorfisme regional dinamotermal terjadi dalam pengaruh tekanan antara, paling tidak 2000 sampai 10.000 bar. Hal ini akan memperlihatkan perbeqAan fabrik batuan pada kedua metamorfisme tersebut. Suhu yang berpengaruh pada keduanya umumnya sama dimulai diatas 150° C sampai maksimum sekitar 800° C.

·         Metamorfisme Beban

Tidak berkaitan dengan orogenesa atau intrusi magma. Suatu sedimen pada cekungan  yang dalam akan terbebani oleh material di atasnya. Suhunya, bahkan sampai pada kedalaman yang besar, lebih rendah dibandingkan pada metamorfisme dinamotermal, berkisar antara 400° - 45o°C. Gerak - gerak penetrasi yang menghasilkan sekistositas hanya aktif secara setempat, jika tidak biasanya tidak hadir. Oleh karena itu fabrik batuan asal tetap tampak sedangkan yang berubah adalah komposisi mineraloginya. Perubahan metamorfismenya tidak teramati secara megaskopis tetapi hanya terlihat pada pengamatan sayatan tipisnya di bawah mikroskop. Metamorfisme beban memperlihatkan batuan-batuannya mengandung Seolit CaA1 laumontit dan lawsonit disatu pihak dan mengandung glaukopan dan jadeit dipihak lain. Keduanya terbentuk pada kondisi suhu yang dianggap sama, perbedaan itu lebih cenderung diakibatkan oleh adanya tekanan yang tinggi sampai sangat tinggi.

·         Metamorfisme Lantai Samudera

Batuan Penyusunnya merupakan Material baru yang dimulai pembentukannya di punggungan tengah samudera. Perubahan Mineralogi dikenal juga metamorfsime hidrothermal. Dalam hal ini larutan Panas/gas memanasi retakan-retakan batuan dan menyebabkan perubahan mineralogi batuan sekitarnya. Metamorfisme semacam ini melibatkan adanya penambahan unsur dalam batuan yang dibawa oleh larutan panas dan lebih dikenal dengan metasomatisme.



Sumber :